Student today, leader tomorrow. Hari ini mahasiswa, esok pemimpin,
Masa kini adalah masanya kita. Siapa yang diam, dia akan
ditinggalkan dan dilupakan oleh Sejarah. Hanya orang kritis dan beranilah yang
membuat perubahan….”
Memang pada
kenyataanya, setelah reformasi bergulir, kendati tidak serta merta membuat
keadaan sosial, politik dan ekonomi jadi lebih baik, tapi kebebasan mulai dapat
dirasakan bukan hanya oleh kalangan aktifis tapi juga masyarakat pada umumnya.
Orang-orang mulai bebas bekumpul, berpendapat, bahkan yang dulunya pengecut
intelektual kini mulai berani keluar dari ‘tempat persembunyian’ dan mengklaim
sebagai pahlawan reformasi. Sistem pemerintahan dirombak dan setelah reformasi,
bergulirlah untuk pertama kalinya rakyat dapat memilih calon pemimpin mereka
secara langsung. Setelah kekuasan beralih, keadaan menjadi lebih nyaman,
gerakanpun lambat laun mengendur.
Sejatinya mahasiswa merupakan sebuah kekuatan besar yang
telah mencatatkan namanya pada panggung sejarah di negeri ini. Gerakan
mahasiswa di Indonesia termasuk Toraja adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun
di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan,
intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di
dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa
seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam
lembaran sejarah bangsa.
Saat ini, sejujurnya mahasiswa kehilangan orientasi gerakan.
Gerakan mahasiswa menjadi mandul, tidak substansif dan hanya sekedar corong
’sponsor’ saja. Idealisme yang diagung-agungkan sejak masa lampau akhirnya
dengan sendirinya tergerus oleh zaman yang menghadirkan persaingan yang tidak
sehat. Fenomena ini semakin menakutkan dan saban hari benar-benar
mengguritalah sikap apatis dan tidak masivnya perjuangan mahasiswa dalam
menyampaikan aspirasi. Kemandulan idealisme menjadi sebuah ’tuduhan’ awal untuk
menjawab fenomena ini. Jangan sampai hal ini akhirnya menjadi mitos, bahwa
kemandulan aksi dan perjuangan mahasiswa bertekuk lutut pada yang namanya
fashion, food, and film. Akhirnya saya pun mendukung pernyataan salah seorang
kawan dalam postingan tulisannya di situs jejaring sosial. Mahasiswa yng apatis
versus mahasiswa idealis (aktivis).
Sampai pada pemikiran ini apa yang selayaknya kita lakukan?
Terus maju dan pekikkan terus semangat perjuangan yang tak kenal henti.
Sejatinya kita perlu reorientasi arah gerak dan perjuangan mahasiswa. Kita
perlu ’ret-ret’ mempertanyakan sejauh mana kontribusi kita bagi bangsa ini.
Dengan sejenak mengabaikan sejarah, kita berlu turun ke titik nadir untuk
berkontemplasi dengan waktu dan diri kita mengkritisi sendiri jalan panjang
perjuangan yang telah mahasiswa rintis di negeri ini. Imbasnya cukup besar, sebagian
besar orgnisasi mahasiswa mengeluhkan hal yang sama. Kekurangan kader militan
yang secara kualitas dan kuantitas seimbang. Yang ada bukan hanya kader
karbitan yang sesekali waktu bisa meninggalkan organisasi tanpa permisi.
Organisasi intra kampus apalagi, saatnya bangkit dari tidur panjang dan mimpi
indah mengeni heroiknya perjungan mahasiswa dulu. Itu dulu. Dulu sekali.
Lampau. Sekarang?
Penting bagi kita memahami, saatnya kita bangkit dan
bersatu. Dengan berbagai macam identitas kita yang perlu kita tampilkan cuma
satu: MAHASISWA INDONESIA. UNTUK DAERAH KITA TORAJA Yang bersatu, teguh dan berintelektual. Hilangkan
perbedaan kalau persamaan dan solidaritas adalah kekuatan kita.
Jika memang ada sesuatu yang tidak
beres, ayo kita duduk bersama, berdialektika, dan mengerucutkan apa ataupun
siapa musuh bersama kita. Karena senjata kita adalah kata dan solidaritas , dalam semangat
persaudaraan, dan tetap berpedoman pada nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan
kebenaran. Harapan kita adalah seluruh blok mahasiswa (kelompok mahasiswa
apapun) dapat bersinergi tanpa harus saling melempar stigma pada blok lain.
Betapapun berat masalah-masalah kekinian, sudah seharusnya menjadi topik
pembicaraan dan dicari solusi penyelesaianya. Daripada permusuhan, sungguh kita
rindu melihat mahasiswa-mahasiswa dari strata sosial, agama, etnis dan latar
belakang manapun berteriak dengan lantang dalam satu barisan kalau mereka
adalah intelektual Indonesia yang sebenarnya.
Kita hidup di dunia nyata. Segala impian dan kenangan
mengenai perjuangan dan pergerakan mahasiswa bolehlah tetap ada tetapi jangan
sampai kita terus terbuai olehnya. Tetap beraksi, fokus, dan mengedepankan
intelektualitas sebagai kekuatan satu-satunya kita. Mahasiswa tidak bertindak
dengan senjata. Bagi kita, senjata adalah kata-kata yang keluar dari kemurnian
hari dan kejujuran dalam bertutur. *Salam Solidaritas Gasmator di dadaku......
Leave a Reply