Saran dan pendapat dari TONGKONAN LAYUK KAERO SANGALLA dan Juga sepenggal sejarah datangnya peradaban kebudayaan dan adat istiadat di Tana Besi Celebessi sekarang Sulawesi Selatan.
Peradaban dan kebudayaan suatu suku bangsa memiliki SEJARAH tersendiri dan sarat dengan nilai-nilai patriotik serta kebersamaan dalam susah maupun senang. Setiap generasi (suku) bangsa pasti menampilkan perubahan dan perkembangan pada zamannya dan generasi berikutnya akan mengambil-alih peran generasi sebelumnya dan mengadopsi suri-tauladan yang bisa dipetik bagi kepentingan kemajuan suku bangsa itu.
Dalam sejarah Kerajaan Gowa yang HEROIK ada catatan yang ditulis oleh sejarawan terkemuka dari Wajo yaitu Abdulrazak Daeng Patunru (Alm.), yang kurang lebih demikian :
Pada suatu waktu datanglah dari selatan dua orang bersaudara, satu bernama Lakipadada, dan satu lagi bernama Karaeng Bayo. Lakipadada mempunyai sebuah pedang yang bernama Su’danga, dan Karaeng Bayo mempunyai sebuah pedang bernama Tanruballanga.
Diriwayatkan bahwa -+ tahun 1140 Tomanurung Tamborolangi, sang penakluk orang-orang “TOALA” yang masih barbar sianre bale dan kanibalisme, adalah Kakek Puang Lakipadada sang pencari “Keabadian” itu (Tang Mate).
Bahwa masa itu di Celebes Tana Besi, sekarang Sulawesi Selatan, manusia penduduk asli adalah “Toala” yang masih barbar, hidupnya “sikande bete” dalam lontara masa “sianre baleni tauwe”.
Yang kuat menggilas yang lemah, seperti ikan besar memakan ikan kecil, manusia saling memangsa dan menelan. Tidak ada hukum, tidak ada peradilan adat, tidak ada pemimpin, manusia hidup hanya dengan berburu dan menangkap ikan bagi mereka yang berada dipinggir pantai.
Menurut silsilah dari Tongkonan Layuk Kaero SANGALLA, Lakipadada x Tomanurung Batara Lolo memilik 3 orang putra sebagai berikut :
1. Patta La Bunga ke Ussu Tana Toporende Datunna Wara Luwu memperisterikan Simpurusiang Bua Lolo anaknya Rammang di Langi yang lahir dari istrinya Tandiabeng saudara kembar SAWERIGADING di Tongkonan Bamba Saile Balusu. Patta La Bunga mendapat warisan sebuah pedang bernama La Bunga Waru dengan bendera pusaka bernama Sulengka.
2. Patta Lamerang Karaeng Bayo menjadi Raja Gowa juga, lagi-lagi kawin dengan Tomanurung sepupunya. Mendapat warisan sebuah pedang bernama SUDANGA dengan sebuah bendera pusaka bernama SAMPARAYA.
3. Patta Labantan kembali ke Sangalla mewarisi pedang pusaka bernama DOSSO dan MANIANG dengan bendera pusaka bernama BATE MANURUNG, juga mengambil alih Arruan yang masih tersisa dari Arruan 40. Kemudian Patta Labantan kawin dengan Petimba Bulaan dari
Tongkonan Nonongan dan melahirkan Manturino. Kemudian Manturino kawin dengan Rangga Bulaan dari Tongkonan Puang ri Tangdan Sangalla dan melahirkan Panggalo-galo. Panggalo-galo ini nasaka seba Dewata (dipelihara oleh 24 monyet hanoman semasa kecilnya) sehingga ia mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Dewata Seuwae artinya Degaga Watang, Tidak Ada Kekuatan Selain Ia Yang Maha Kuasa. Diriwayatkan bahwa sesuai amanah dari tua-tua adat “Topalambi ba’tu Topanguliran” Panggalo-galo itulah yang kemudian hari menjadi Raja Bone, karna berkeliling negeri di pesisir pantai Teluk Bone menghentikan sifat-sifat barbar “sianre bale”.
Sejarawan Walter Benyamin mengatakan ; Seseorang yang datang di suatu negeri, membawa peradaban dan kebudayaan, pasti di negeri itu ada sifat-sifat barbar kanibalisme sianre bale, kehidupan manusia pada masa itu saling memangsa dan menelan.
Dari sepenggal Sejarah itu terlihat keberagaman peristiwa masa lalu yang tidak akan terjadi dua kali. Semuanya terjadi berdasarkan norma-norma yang dianut pada masanya.
Karna sejarah adalah akumulasi dari segala pengalaman, upaya dan harapan serta prestasi manusia dalam membangun peradaban. Kadang-kadang arah gerak sejarah tidak hanya ditentukan oleh manusia, adakalanya manusia tidak bisa berbuat apa-apa, dan hanya menatap pasrah terhadap keadaan yang terjadi disekelilingnya.
Dari sejarah kita mendapat pengalaman batin yang segar akan keberagaman peristiwa dan latar belakang manusia dalam sebuah kurun masa.
Sejarah bukan cuma Romantisme atau sentimentalisme untuk kembali ke masa silam. Akan tetapi sejarah juga, bukan dokumentasi mati yang bisu. Sejarah merefleksikan banyak hal, ada peradaban tapi ada juga sifat-sifat barbar, ada kemuliaan tapi ada juga kehinaan. Ada kemenangan dan ada juga kekalahan.
Diriwayatkan bahwa sejak ditaklukkannya Sultan Hasanudin oleh VOC Belanda, maka mulai pada saat itu pula Belanda mencanangkan dengan sangat ketat politik adu domba dengan istilah DEVIDE ET IMPERA selama 350 tahun di Sulawesi Selatan dan Indonesia pada kususnya.
Di Jawa terjadi politik adu domba antar kerajaan-kerajaan dan bahkan antara saudara sekandung akibat haus kekuasaan dari penjajah kolonial Belanda itu. Juga akibat dari perdagangan Hongi Tohcten (monopoli perdagangan) rempahrempah.
Sejarah sukubangsa-sukubangsa di nusantara melengkapi sejarah bangsa Indonesia. Di saat penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia yang di terima oleh SULTAN HAMENGKUBUWONO IX di Istana Merdeka pada tanggal 27 Desember tahun 1949, kerajaan-kerajaan di persada nusantara menyatakan dukungannya kepada Republik Indonesia. Mereka resmi menyerahkan kedaulatan formal kepada Pemerintah Republik Indonesia. Kekuasaan formal berpindah dari tangan raja-raja kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Namun demikian, Pemerintah tetap menghormati warisan budaya masing-masing kerajaan dan bahkan membantu pelestariannya, khususnya dalam memelihara artefak, benda-benda pusaka dan warisan dari peradaban masa lalu. Di lain pihak, Pemerintah tidak mencampuri urusan adat-istiadat
maupun upacara-upacara adat yang dilakukan oleh keturunan raja-raja dan kerabat-kerabatnya. Sikap yang demikian bukan berarti Pemerintah menginginkan tumbuhnya neo-feodalisme tetapi itulah sikap Pemerintah dalam menghormati jatidiri bangsa ini. Pemerintah tak lain tak bukan hanyalah penerus kerajaan di alam demokrasi. Namun demikian ada garis pem isah y a n g j e l a s antara keduanya, yang secara formil tidak dapat dan tidak mungkin dilangkahi oleh kedua-belah pihak, sebab fungsi dan tugas masingmasing pihak tidak boleh tumpang-tindih.
Sama halnya dengan kerajaan-kerajaan lain di nusantara, Kerajaan Gowa pun tidak terkecuali. Peristiwa pembongkaran brankas benda pusaka Kerajaan Gowa, yang dilakukan oleh oknum-oknum setempat memperlihatkan bahwa kita tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai patriotik yang pernah ditunjukkan oleh Sultan Hasanudin Raja Gowa XVI, Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim Raja Bone XXXII kedua beliau ini adalah Pahlawan Nasional, ketika menjadi bagian dari Republik ini di tahun 1945.
Ada perumpamaan yang menyebutkan seekor keledai tak akan mau terperosok pada lubang yang sama dua kali. Sebagaimana kita maklumi, keledai sering diasosiasikan sebagai simbol dari kebodohan, oleh karna hidupnya selalu memikul beban. Manusia yang selalu mengulang-ulang kesalahan yang sama dianggap lebih bodoh dari pada keledai.
Tragis menyedihkan.
Kalaupun acara pencucian benda-benda pusaka itu akan dilaksanakan, seharusnya inisiatif datang dari keturunan langsung secara vertikal Raja Gowa, dan disaksikan oleh pemuka-pemuka adat setempat, petinggi-petinggi instansi Pemerintah, biasanya diundang untuk menyaksikan acara itu, sebagai penghormatan upacara accera kalompoang keluarga kerajaan Gowa, sebagai kelompok masyarakat adat nusantara.
Banyak pihak menyayangkan pembongkaran Brankas itu, kenapa bisa terjadi. Apa boleh buat, sudah terjadi “NASI SUDAH JADI BUBUR”. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Setiap negeri tentu mempunyai adat istiadatnya sendiri.
Kesalahan adat tentu berbuntut berlakunya hukum adat. Paling tidak, suatu permintaan maaf resmi secara terbuka kepada warga masyarakat Gowa, terlebih lagi kepada para ahli waris Kerajaan Gowa, yang selayaknya dilakukan oleh sang pembongkar brankas itu.
Semua benda pusaka yang ada di dalam brankas, tanpa kecuali, wajib dan harus dikembalikan kepada ahli waris Kerajaan Gowa yang berhak.
Pemimpin yang baik seharusnya memiliki sifat amanah dan ‘gentleman’ mengakui kekeliruannya. Pembongkaran brankas itu sendiri mengisyaratkan bahwa oknum-oknum itu secara explisit menyatakan tidak lagi menghormati warisan budaya Kerajaan Gowa.
Menurut pendapat Tominaa “Penjaga benda pusaka kalompoang itu sudah berada di Sangalla” Wallahu Alam menghilang khasiatnya, karna tuli dilinggis, di betel, dan dipalu-palui yang bunyinya keras. Mudah-mudahan penjaganya besok atau kapanpun “IA” akan kembali lagi. Ingat sebuah pepatah kuno yaitu “Kala jadi abu, menang jadi arang, arang tidak akan kembali jadi kayu, akan tetapi ujung-ujungnya arang itu, akan menjadi abu juga”.
Sebagai unsur masyarakat Sulawesi Selatan, saya ingin mengajak semua pihak di Sulawesi Selatan untuk kembali meneliti ajaran kepemimpinan yang di wariskan oleh Tomanurung Tamborolangi dalam suatu “KOMBONG KALUA YANG PERTAMA” di lembah Mokanni Kandora -+ tahun 1150 s/d 1165 yang menyebabkan dia diberi gelar “To mebanua di toke To metondok di anginni”.
Dari singgasananya, kakek Lakipadada, Karaeng Bayo’, Batara Guru, Sawerigading, Lagaligo, Matasilompoe, Puang Ri Ma’galatung, Latemmamala Dassi Londongna itu menyebarkan warisan dan ilmu TANANAN PEMALI SANDA SARATU yang tidak boleh dilanggar karena masih banyak orangorang “Toala” yang susah meninggalkan kebiasaan lama yaitu sianre bale sehingga Tomanurung dan kawan-kawannya arruan 40, membuat suatu pernyataan kesepakatan yaitu “Berkata tak dapat dibantah, menyahut tak dapat dipersalahkan”. Orang-orang Toala yang masih melawan dan tidak mau tunduk kepada ajaran Tomanurung terpaksa ditaklukkan.
Ada lima warisan Tomanurung Tamborolangi dan ajarannya, kalau ingin menjadi pemimpin, yaitu seseorang harus berpegang teguh kepada kearifan, jujur, adil dan teguh pendirian Tang Leluk (Getteng) dan “SATU KATA DENGAN PERBUATAN”, warisan tersebut dibawah ini tidak dapat diperebutkan, akan tetapi siapa yang patuh menjalankannya boleh mewarisinya yaitu ; 1. Lino (Semesta alam). 2. Padang (Tanah). 3. Wai (Air) 4. Api. 5. Angin.
Eksistensi manusia dalam waktu, tidak ubahnya adalah mahluk sejarah. Kedudukan ini disandang manusia, oleh sebab kemampuannya menciptakan dunianya sendiri. Suatu dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang disesaki semesta alam yang hanya dicapai sejauh mata telanjang memandang. Dunia yang dimaksud yaitu dunia kultural, yang dirupa dari kemampuan merenung yang kontinyu, sehingga dapat menyembul dalam dimensi dunia batin, karna manusia adalah penggerak utama sejarah. Kemudian yang jelas dan pasti dalam ajaran Tomanurung, adalah Falsafah kehidupan “Tallu Lolona” ini bagi suku Toraja yaitu ;
1. Lolo Tau (Manusia).
2. Lolo Patuoan (Hewan).
3. Lolo Tananan sola Bangunan Banua (Tanaman,Tumbuh-tumbuhan).
Contoh yang pasti sesuai sejarah terjadi kepada Latadampare Puang Ri Ma’galatung Arung Matoa Wajo IV, semasa mudahnya banyak berkelakuan buruk, sehingga diharuskan oleh hukum adat negerinya di Palaka, harus keluar dan mengembara, suatu waktu ia menyeberang sungai, semua pakaiannya dihanjutkan ke sungai, sisa yang dibadannya tidak dihanyutkan, ia berkata bahwa semua yang buruk dan yang sial sudah hanyut dibawah air sungai itu.
Latadampare Puang Ri Ma’galatung berkata Eeee... eee Dewata Seuwae lindungilah aku kemanapun aku pergi walaupun sampai di ujung dunia. Ringkas kata Latadampare pergi ke SANGALLA dan mengawini anaknya Puang Palodang di Sangalla bernama We’ Tessiwoja We’ Marellung We’ Tessita Putri Ma’dika Sangalla di Kaero. Diriwayatkan bahwa Latadampare Puang Ri Ma’galatung Arung Matoa Wajo IV mendapat ilmu dari Ayah mertuanya di Tongkonan Layuk Kaero Sangalla yaitu, Eeee ... eee hormatilah akan adat istiadatmu, jika engkau tidak menghormati akan adat-istiadatmu, maka tak jadilah engkau disebut sebagai manusia ;
1. Karna adat itu, tempatnya berlindung orang yang lemah dan jujur.
2. Karna adat itu, tempatnya tertumbuk orang yang kuat dan sewenang-wenang.
3. Karna adat itu, pagar bagi negeri.
Oleh sebab itu, peristiwa pembongkaran brankas yang terjadi di Gowa, disusul dengan terjadinya pembakaran gedung Kantor DPRD Gowa, seyogianya mari kita rujuk pada Sipakatau, Siangga’, Siporannu, Sikamasean dan Siangkaran, agar kelak kita senantiasa mawas diri dan mampu menghindari sifat-sifat yang tidak terpuji. Kita boleh mendukung generasi muda kita yang mengedepankan karakter dan perilaku yang arif, jujur dan teguh pendirian, mengayomi sehingga kelak bisa menjadi pemimpinpemimpin bangsa yang tangguh dan tahan uji. Namun sifat-sifat loba, ingin disanjung, merasa diri tak terkalahkan dan mengedepankan kepentingan pribadi bukanlah cerminan pemimpin yang sejati. Seyogianya pemimpin itu, mengingat bahwa kekuasaan adalah amanah dari Allah swt yang setiap saat, kalau Dia berkehendak, bisa diambilNya dan diberikanNya pada orang lain yang Dia kehendaki.
Ingat kata sejarawan Prof.DR.Taufik Abdullah, “Manusia tidak saja terlibat dengan waktu yang mengitari dirinya semasa hidupnya, akan tetapi manusia jauh terlibat dengan waktu yang mengitari dirinya setelah meninggal dunia”. Oleh karna itu memang ada klasifikasi manusia, yang dikenang orang sepanjang masa. Oleh sebab itu, mari kita sadar akan kodrat kita sebagai manusia, sebagai hamba Allah sebagai makhluk yang lemah yang harus tunduk kepadaNya. Wa-lLahu ‘a’lam…..sebagai manusia biasa hamba Allah, kita seharusnya berdamai dengan masa lalu, dan masa kini, karna masa kini toh achirnya akan menjadi masa lalu.....
Sangalla, 29 September 2016.
Tarra Sampetoding. Ketua Lembaga Adat Toraja (LAT).